Membangun Karakter Bangsa

Membangun Karakter Bangsa
Kabag Protokoler Setdakab Inhu, Supandi S.Sos, MP
PROSES terjadinya Indonesia sebagai bangsa pastilah melalui proses panjang. Keragaman komposisi yang ada di dalamnya hanya mungkin direkatkan oleh pengalaman historis yang mendalam dan relative merata. Interaksi sosial, ekonomi maupun politik sejak masa pra-kolonial maupun penjajahan Belanda dan Jepang memiliki sumbangan besar dalam menumbuhkan rasa kebersamaan. Ibarat sebuah perkawinan, ikatan keluarga diawali dengan kesepatakan membangun masa depan atas rasa saling mencinta yang jauh dari sekedar kalkulasi rasional (baik ekonomi maupun politik) atau paksaan. Namun, bersatunya berbagai elemen dalam “ keluarga bangsa” juga disertai harapan atau bahkan impian romantis tentang kehidupan yang indah di masa mendatang. 
 
Dalam rumusan formal sebagaimana tentara dalam Pembukaan UUD 1945, impian itu dinyatakan antara lain untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Solidaritas emosional atas dasar cita-cita semacam inilah yang diramu untuk menumbuhkan semangat nasionalisme kewargaan (civic nationalism), bukan nasionalisme atas dasar kesukuan atau ikatan-ikatan primordialisme sempit (ethnonationalism), yang menjadi fondamen Negara-bangsa.
 
Namun perlu disadari, solidaritas emosional yang awalnya menjadi perekat utama kebersatuan, tidak serta merta stabil keberadaanya. Rasa kecintaan dapat fluktustif, terkadang menguat maupun melemah. Karenanya, solidaritas kebangsaan secara terus menerus harus dibina untuk dapat tumbuh berkembang secara sehat. Bila rasa saling mencinta tidak dipupuk dengan baik, maka rasa saling percaya akan memudar dan bahkan dapat hilang sama sekali. Bila kerekatan emosional tak ada lagi, ancaman perceraian pun tak terhindarkan. Upaya untuk memisahkan diri, seperti tumbuhnya gerakan separatism, menjadi tak terelakkan.
 
Karena itu, kini saatnya kita menyadari kembali bahwa bangsa ini adalah bangsa yang terbangun dari hasil serangkaian interaksi panjang, lebih dari 300 suku bangsa, dengan 250 jenis bahasa berbeda, dan menepati wilayah tak kurang dari 13.000 pulau. Bangsa ini terbentuk sebagai hasil dialog intensif dari hampir seluruh kelompok agama-agama besar dunia-Islam, Kristen, Hindu dan Budha, serta pertukaran budaya ratusan agama-agama lokal di seluruh wilayah Nusantara. 
 
Bangsa ini terbangun dari jutaan manusia yang merasakan kepedihan sama dibawah penindasan penjajah yang berlangsung ratusan tahun lamanya. Karena itu, tumbuhnya rasa solidaritas kebersamaan sebagai akibat kesemaan tantangan, kebulatan semangat dan tekad untuk membangun kehidupan lebih layak di alam merdeka, yang terbebas dari dominasi kekuasaan penjajah, harus terus dipupuk. Keseluruhan factor yang tergabung inilah yang merupakan modal sosial, yang menjadi fondasi kokoh bagi terbentuknya sebuah Indonesia.
 
Atas dasar modal sosial inilah, para pendiri bangsa (the founding fathers) meramu dan mengembangkan fondasi bangsa ini. Sejarah mencatat, banyak para pemimpin negeri di awal kemerdekaan yang secara cerdas telah menunjukan arah perjalanan bangsa dengan memberikan semangat, inspirasi dan visi arah pembangunah bangsa. Biografi perjuangan para pemimpin seperti H.O.S Tjokroaminoto, Soekarno, Moh. Hatta, H. Agus Salim, dan Sutan Sjahrir misalnya, telah secara jelas memberikan landasan pembangunan Negara-bangsa modern yang bersandikan prinsip-prinsip demokrasi.
 
Maka, kini tak dapat dielakkan lagi, kehidupan berbangsa kita benar-benar tengah mengalami ujian berat. Anugerah reformasi yang sebenarnya menawarkan demokrasi, menjanjikan kehidupan lebih baik karena dimungkinkannya setiap individu dan kelompok mengekspresikan aspirasinya, menjadi terkontaminasi oleh timbunan-timbunan ketidak-puasan yang terlalu dalam. Maka kita pun menyaksikan banyaknya kerumunan-kerumunan marah (angry crowds) yang justru dalam iklim kebebasan ini menggunakan kesempatan untuk pelampiasan kemarahan, dan tak perduli pada aturan hukum yang tengah dicoba dibangun. Situasi yang menjurus chaos ini menjadi semakin sulit terkendali karena proses konsolidasi penegak hukum pun masih terus tertatih-tatih. Akibatnya, supremasi hukum yang diidamkan terasa semakin sulit dicapai. 
 
Disaat hukum tak di hormati, penegak hukum kehilangan kendali, maka konflik-konflik vertikal dan horizontal marak. Korban-korban kemanusaiaan, sebagaimana terjadi dihampir tiap gugusan kepulauan Indonesia, sebagaimana sebelumnya telah disinggung, terus berjatuhan dan menciptakan situasi darurat kompleks (complex emergencies), yakni suatu situasi darurat multidimensional yang membawa penderitaan luar biasa pada penduduk. Sulitnya, di tengah ratusan ribu penduduk membutuhkan pertolongan segera, aksi kemanusian pun banyak mengalami hambatan. Hambatan itu tidak saja karena terbatasnya dana akibat krisis, tetapi seringkali karena adanya rintangan dari aparat birokrasi pemerintah sendiri.
 
Dalam situasi seperti inilah, kita benar-benar memerlukan suara para pemimpin dan tokoh yang mampu membangun kembali ruh hidup bersama (trust building), yaitu ruh semangat kebangsaan dalam konteks baru, dalam konteks tatanan masyarakat yang kini tumbuh secara dinamis. Para tokoh itu adalah tokoh yang dapat memberikan inspirasi baru, memprogram “software sosial-politik baru,” yakni software yang dapat kuat menopang dinamika perubahan sosial-politik kebangsaan ke depan. Pertanyaannya adalah bentuk kepemimpinan seperti apakah yang dapat mendorong tumbuhnya “software sosial-politik” kebangsaan yang terbatas dari semangat ethonasionalisme?
 
Untuk mendorong tumbuhnya negara-negara modern dalam kawasan modern (modern nation state ), Indonesia jelas memerlukan bentuk Kepemimpinan berkarakter yang di bekali wawasan kebangsaan yang kuat. Bentuk kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan demokratis yang mampu mengemban misi tumbuh nya nasionalisme Kewarganegaraan (civic nationalism ).
 
Namun, Perlu dicermati, Harapan tumbuhnya para pemimpin yang berwawasan kebangsaan , seringkali pupus tergilas oleh munculnya para pemimpin kelompok primordial yang lahir ditengah  “massa jalanan” , yang dalam istilah Maffesoli (1996), Disebut sebagai “kerumunan tanpa wajah” ( the faceless crowd). Sirkulasai kekuasaan yang tak normal yang terjadi selama kekuasaan orde lama dan orde baru, Ternyata menyebabkan negeri kita tak mampu melahirkan banyak pemimpin matang. Yang ada pada Umumnya hanyalah adalah figur- figur politik dadakan, yang tumbuh bukan dari hasil seleksi ketat, namun lahir akibat peristiwa insidental dari suatu kerumunan massa. Reformasi yang terjadi di tengah munculnya kerumunan- kerumunan marah (angry crowds), kemudian menjadi tempat subur bagi lahirnya tipe ‘ kepemimpinan kerumunan’ (crowd leadership). Kepemimpinan semacam ini tidak saja muncul di kalangan elit-elit partai, namun juga elit-elit lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
 
Apa jadinya bila panggung pemimpin politik kita dipenuhi oleh tokoh-tokoh bertipe crowd leaders? Sigmund Freud (1921), memperkenalkan “hypnotic theory” untuk menjelasan model kepemimpinan ini. Menurutnya,dalam tipe kepemimpinan ini pola hubungan pemimpin terhadap pengikutnya ,seperti menjelma bagai sebagai aktor panggung yang mampu “menghipnotis” penontonnya dalam sebuah pertunjukan. Karena itu,adanya pola huungan yang bersifat rasional dan kritis akan sulit ditemui karena para pendukung itu mengalami keterkaguman  luar biasa terhadap pemimpinnya.
 
Teori hipnotis Sigmund Freud ini terlihat paralel dengan teori Max Weber Tentang kepemimpinan kharismatik. Pola kepemimpinan kharismatis juga melihat adanya hubungan kekuasaan yang sangat asimetris anatara pemimpin dan yang dipimpin.  Kharisma dapat melekat pada seorang pemimpin sebagai akibat adanya persepsi rakyat bahwa pemimpinnya itu memiliki pemimpinnya itu memiliki “suatu sifat dari suatu kepribadian yang berbeda dari orang biasa dan diperlakukan seolah-olah diberkati dengan kekuatan-kekuatan gaib,melebihi manusia biasa,atau setidak-tidaknya dengan kekuatan-kekuatan atau kecakapan yang luar biasa” (Weber dikutip oleh Willner dan Willner 1984,hal. 167).
 
Karena itu, sulit diharapkan bahwa tipe kepemimpinan semacam ini akan produktif dalam membangun iklim demokrasi modern. Demokrasi hanya dapat dibangun secara sehat bila berkembang prinsip dasar otonomi tiap-tiap individu harus memiliki kebebasan dan kesetaraan dalam menentukan nasib kehidupannya, dan mereka harus mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang sama.
 
Namun, dalam suatu masyarakat yang tengah mengalami fregmentasi sosial, tipe memimpin kharismatik sebenarnya dapat berfungsi sebagi lmbang persatuan, dan dapat dijadikan alat untuk menciptakansuatu konsesus nasional, khususnya bila kharisma yang ada dapat dikelolah sedemikian rupa sehingga mampu memperoleh kesetiaan semua atau sebagian besar kelompok-kelompok yang ada. Tetapi sebaliknya, pola kepemimpinan kharismatik dapat pula membahayakan kehidupan masyarakat karena kepemimpinan semacam ini dapat dengan mudah membangkitkan emosi pendukungnya. Bila terjadi perseteruan antar politik kharismatik, masing-masing kelompok pendukung emosionalnya akan dengan mudah pula terseret dalam arena konflik.
 
Hal yang lebih mengkhawatirkan, tipe pemimpin kharismatik ini cenderung  kurang menghargai kekuasaan yuridis impersonal yangdidasarkan pada norma-norma rasioanl. Padahal demokrasi hanya dapat berjalan baik manakala aturan-aturan yang disepakati bersamadapat ditegakan. Kepemimpinan kharismatik juga bersifat tidak stabil, suka menciptakan hal-hal baru, dan perilakunya cenderung sulit diprediksi, Akibat dari hal ini, upaya institution building atau membangun tatanan sosial atas dasar rule of law,akan sulit dilakukan. Dengan kata lain,para pemimpin kharismatik yang biasanya lahir ditengah situasi ketidak-pastian, pada gilirannya, akan menciptakan ketidak-pastian baru.
 
Kini  kita pun perlu memfokuskan secara khusus membagun karakter (character building) di kalangan masyarakat Indonesia secara umum. Tiga puluh tahun lalu, Mochtar Lubis (1977) menulis buku berjudul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Dengan gaya jurnalistik lugas, Mochtar Lubis menyebut manuasia Indonesia memiliki ciri-ciri antara lain munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhyul, berwatak lemah, boros, pemalas, tukang menggerutu, cepat cemburu, sok dan tukang tiru. Jelas sekali, Mochtar Lubis geram terhadap karakter buruk itu. Ia mengatakan bahwa kita “memerlukan upaya nasional untuk memperbaiki diri kita sebagai manusia.”
 
Kini, kita perlu khawatir, gambaran manusia Indonesia belum banyak berubah. Kita tidak mengingkari bahwa era reformasi telah membawa harapan baru. Hanya saja, hingga kini, perubahan yang kita harapkan masih berjalan lambat. Akibatnya, beban psikologis tampak semakin berat. Penyair Taufiq Ismail (1998) pun menulis buku kumpulan puisi dengan judul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Dan, Eep Saefullah Fatah (1997) mengikuti kekecewaan sama dengan menulis buku Bangsaku yang Menyebalkan. Nada pesimistis semacam ini akan terus terjadi bila kita tak mengupayakan sebuah perubahan fundamental. Apa yang harus kita lakukan agar terjadi perubahan lebih cepat?
 
Dalam mencanangkan agenda perubahan perilaku, teori tindakan manusia (human action) diperlukan sebgai acuan. Dalam kajian sosiologis, tiap tindakan seseorang tidaklah terjadi dalam “ruang hampa,” melainkan terkait erat dengan orang lain (oriented to others) atau terjadi dalam “situasi sosial” tertentu. Dalam bahasa Anthony Giddens, “tindakan dilihat sebagai proses interaksi aktif individu-individu (sebagai agents) yang mereproduksi struktur sosial, yang pada saat yang sama juga dipengaruhi oleh struktur sosial yang tercipta. Baik tindakan yang dilakukan, proses interaksi yang terjadi, dan struktur sosial yang ada, ketiganya saling mempengaruhi. Keriga rialitas menyatu, karena merupakan dualitas dalam realitas yang sama (Lihat Jonathan H. Turner, The Sturcture of Sociological Theory, 1991, hal 521). Bila kita aplikasikan kerangka teori ini dalam strategi membangun manusia Indonesia, karakter tidak saja dibentuk oleh tindakan orang per orang (agent), tetapi juga dibentuk oleh interaksi yang membagun dan struktur sosial (lingkungan) yang ada. Lihat bagan Teori Tindakan Sosial.  
 
Dengan demikian, upaya yang harus dilakukan untuk membangun karakter bangsa dapat dilakukan antara lain melaui langkah-langkah, pertama: menggali potensi diri, yakni melakukan evaluasi dan seleksi nilai-nilai unggul untuk dikembangkan untuk mendorong membangun karakter bangsa. M. Dawam Rahardjo (2007), menyebut tiga nialai atau karakter strategis yang harus dikembangkan, yakni kejujuran, keadilan, dan tanggung-jawab. Bila Indonesia berhasil mengembangkan ketiga karakter ini, akan tumbuh masyarakat saling percaya (high trust society), dan kredibilitas Indonesia akan meningkat dai mata Internasional. Berbeda dengan Dewam, Pramoedya Ananta Toer (2003) menggaris bawahi pentingnya penggunaan akal dan sikap pemberani sebagai prasyarat terjadinya perubahan. Pramoedya pun menunjuk generasi muda sebagai agen mampu menjadi mesin penggerak perubahan dan pembaharuan. Selain sikap yang disebutkan ini, tentu banyak lagi sikap luhur lain yang dapat digali dalam masyarakat Indonesia. Beragam kearifan lokal (local wisdom), seperti tingginya penghargaan terhadap seni dan kesukaan pada gotong-royong, dapat menjadi bagian penting untuk mendukung perubahan.     
 
Namun, upaya perubahan ini, bila tidak ahati-hati, akan terjebak pada sikap-sikap pemaksaan, bila seluruh proses tidak dijalankan atas dasar sikap toleran. Adanya sikap toleran menjadi semakin penting karena kemajemukan masyarakat Indonesia. Situasi majemuk di tegah tumbuhnya demokrasi ternyata saling memunculkan terjadinya perebutan sengit atas pengakuan dan sumber-sumber langka. Konflik pun seringkali tak terelakkan. Untuk mengatasi situasi ini, proses komunikasi yang baik jelas diperlukan. Sikap toleran terhadap perbedaan menjadi penting.
 
Kedua, upaya mengembangkan karakter luhur itu hanya akan terjadi, bila dalam masyarakat terjadi proses interaksi yang sehat di antara anggota-anggotanya. Interaksi sehat terjadi bila masing-masing pihak menjalankan prinsip kesamaan derajat, kesamaan atas keterlibatan (strong and equal envolvement) dan keterbukaan (openess). Langkah membangun interaksi sehat ini memerlukan pemahaman dan latihan yang terus menerus. Bila hal ini berhasil dilakukan akan terbangun komunitas yang anggota-anggotanya memiliki jalinan hubungan erat. Sikap luhur seperti kejujuran, keadilan, tanggung-jawab dan toleran sebagaimana disebutkan sebelumnya akan tumbuh subur dalam lingkungan masyarakat yang memiliki interaksi sehat.
 
Ketiga, pola-pola interaksi sehat merupakan embrio tumbuhnya sebuah komunitas responsif. Apa itu komunitas responsif? Amitai Etzioni menggunakan terminologi “komunitas responsif” untuk menandai sebuah komunitas yang TIDAK reprensif terhadap warganya seperti hanya memaksakan aturan dan nilai yang dianut dalam lingkungan komunitas itu sehingga hak-hak individu terabaikan (karena adanya centripetal forces of community), dan sebaliknya, dalam komunitas responsif ini tiap individu TIDAK begitu saja bebas-bebasnya (sebagaimana dalam iklim libertarian free-for-all). Bentuk komunitas responsif mengacu pada prinsip keseimbangan antara kedua kecenderungan itu dengan menghindari terbentuknya lingkungan yang bersifat represif terhadap warga dan pada saat yang sama juga menolak individualisme yang cenderung menghancurkan kebersamaan (solidaritas sosial). Etzioni dalam artikel “Positive Aspects if Community and the Dangers of Fregmentation” (1996) menulis, “the term ‘rensponsive’ implies that the society is not merely setting and fostering norm for its members, but is also responding to the expressions of their values, viewpoints and communications in refeashioning its culture and structure.” 
 
Bila kita mengidamkan tumbuhnya tindakan-tindakan luhur yang dilakukan tiap warga masyarakat, maka mau tidak mau, harus ada upaya serius membangun komunitas-komunitas responsif di berbagai tempat. Model komunitas responsif dapat dibangun antara lain dengan membentuk unit-unit kerja yang bergerak atas prinsip partisipatif dan emansipatoris dalam masyarakat, yang keseluruhannya bekerja dengan tujuan memperkuat terbangunnya struktur masyarakat egaliter dan demokratis. Dengan tumbuhnya ribuan komunitas responsif semacam ini di Indonesia, perubahan demi perubahan dapat kita harapkan kerena tumbuh pola-pola interaksi sehat antar sesama warga di berbagai komunitas di Indonesia. Pada giliranya kelak, dengan tumbuhnya struktur dan pola interaksi yang sehat secara terus menurus ini, akan terbentuk karakter luhur seperti sikap jujur, adil, tanggung-jawab dan toleran pada tiap pribadi warga bangsa.***
 
 
Penulis : Supandi S.Sos, MP (Kabag Protokoler Setdakab Inhu)

#Pendidikan

Index

Berita Lainnya

Index